Makmum Terakhir

Namaku Dina. Aku mahasiswi tingkat akhir di sebuah universitas Islam. Sejak kecil, aku terbiasa bangun malam untuk salat tahajud. Aku percaya bahwa doa di sepertiga malam adalah waktu paling mustajab.


Tapi kejadian ini… mengubah cara pandangku terhadap sunyinya malam.


Malam itu, sekitar pukul 3 pagi, aku bangun seperti biasa. Aku tinggal di asrama, tapi malam itu hanya aku sendiri di kamar karena teman sekamarku pulang kampung.


Aku berwudhu, lalu menyalakan lampu kecil di pojok kamar. Suasananya redup, cukup untuk membuat hati tenang.


Aku mulai salat tahajud, berdiri menghadap kiblat. Saat rakaat pertama, tak ada yang aneh. Tapi memasuki rakaat kedua, aku mendengar suara pelan di belakangku — seperti suara kain digesekkan ke sajadah. Seperti... seseorang sedang takbiratul ihram.


Aku kaget.


Refleks, aku menoleh cepat ke belakang. Kosong.


Tak ada siapa-siapa. Aku berusaha tetap tenang. Mungkin hanya suara sajadah bergeser... mungkin...


Aku lanjutkan salat. Tapi kali ini aku bisa merasakan hawa dingin menyelimuti punggungku.


Di rakaat ketiga, ketika aku rukuk, aku jelas-jelas mendengar suara napas berat di belakangku. Pelan, tapi panjang. Seperti seseorang yang berdiri sangat dekat.


Aku tidak berani menoleh.


Aku cepat-cepat menyelesaikan salat. Setelah salam, aku langsung berpaling ke belakang.


Masih kosong.


Namun… sajadah kedua yang sebelumnya terlipat rapi di lemari — entah sejak kapan — sudah tergelar di belakangku. Seperti ada yang baru saja memakainya…


Dengan detak jantung yang menggila, aku menunduk, ingin melipat sajadah itu. Tapi di atasnya... aku melihat bekas telapak tangan, seperti baru saja digunakan untuk sujud.


Dan saat itu juga, dari belakangku…


“Assalamu’alaikum...”


Suara itu pelan. Lirih. Tepat di telingaku.

Dan aku tahu... aku bukan lagi satu-satunya makmum malam itu.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

malam jumat di rumah kosong